Jumat, 17 Februari 2012

Ini Dalilnya (4): Adakah Bid’ah Hasanah?

Kategori: Manhaj
13 Komentar // 7 November 2011
Syubhat 2: Adakah Bid’ah Hasanah?
Sebagian orang menganggap bahwa bid’ah ada dua; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (dholalah). Mereka berhujjah dengan pendapat sebagian salaf seperti perkataan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Sebaik-baik bid’ah adalah ini[1])
Atau perkataan Imam Syafi’i -rahimahullah- yang menyebutkan:
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم
Bid’ah itu ada dua: terpuji dan tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah berarti terpuji, sedangkan yang menyelisihinya berarti tercela [2]).
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai khutbah beliau senantiasa mengatakan:
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ, إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ… (رواه النسائي يرقم 1560, وابن ماجه في مقدمة السنن برقم 45)
“Barangsiapa diberi hidayah oleh Allah, maka tak seorang pun bisa menyesatkannya; dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tak seorang pun yang bisa memberinya hidayah. Sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) ialah bid’ah, sedang setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di Neraka…” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Irwa’ul Ghalil 3/73)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dari jalur yang sama, yaitu Ja’far bin Muhammad (Ash Shadiq) dari ayahnya (Muhammad bin ‘Ali Al Baqir) [3]), dari sahabat Jabir bin Abdillah, dengan lafazh:
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid’ah itu sesat” [4](
Dalam kedua hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, dan sabda beliau ini berkenaan dengan bid’ah menurut syari’at.  Mengapa harus begitu? Karena dua hal; pertama: menurut kaidah ushul fiqih, dalam menafsirkan dalil-dalil syar’i, terlebih dahulu kita harus membawanya kepada pengertiannya secara syar’i, kalau tidak bisa, baru kita membawanya kepada pengertian yang lain, seperti pengertian bahasa atau adat setempat sesuai dengan qarinah (petunjuk) yang ada[5]). Kedua: jika ia ditafsirkan sebagai bid’ah lughawi, konsekuensinya semua hal yang baru dianggap bid’ah dan sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap penemuan baru dalam bidang IPTEK pun dianggap sesat…dan jelas tidak mungkin ada orang berakal yang mengatakan seperti itu, apalagi seorang Rasul yang ma’shum.
Mendudukkan maksud ucapan Umar bin Khatthab
Jika kita telah memahami makna bid’ah secara lughawi dan syar’i, maka ucapan Umar bin Khatthab yang berbunyi: “sebaik-baik bid’ah adalah ini…”, sama sekali tidak bisa dijadikan dalil akan adanya bid’ah hasanah dalam agama, karena makna ucapan tersebut ialah bid’ah secara bahasa yang sifatnya nisbi (relatif).
Alasannya: Lihatlah konteks ucapan Umar selengkapnya berikut:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ, وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ, فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ, وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dari Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin Khatthab t di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada orang yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah orang. Maka Umar berkata: “Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu imam akan lebih baik…” maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu jama’ah– dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain, dan ketika itu orang-orang sedang shalat bersama imam mereka, maka Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat dimana mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana mereka shalat”, maksudnya akhir malam lebih baik untuk shalat karena saat itu mereka shalatnya di awal malam. (H.R. Malik dalam Al Muwaththa’ bab: Ma jaa-a fi qiyami Ramadhan).
Kemudian sebagaimana kita ketahui, anjuran beliau untuk shalat tarawih berjama’ah itu bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukannya beberapa kali, kemudian beliau hentikan karena khawatir kalau shalat tarawih diwajibkan atas umatnya[6]). Akan tetapi di masa Umar  berkuasa, tidak semua warga Madinah tahu akan hal ini, karena banyak di antara mereka yang tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi shalat dibelakang beliau. Karenanya, bagi mereka ini merupakan hal baru (bid’ah lughawi). Jadi, jelaslah bahwa bid’ah yang dimaksudkan Umar di sini bukanlah bid’ah syar’i maupun lughawi secara mutlak, akan tetapi bid’ah lughawi nisbi (hal yang baru bagi sebagian kalangan).
Lebih dari itu, ingatlah bahwa Umar termasuk salah seorang Khulafa’ Ar Rasyidin yang perbuatannya dianggap sebagai sunnah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه أبو داود (4607) واللفظ له, وابن ماجه (42), وأحمد (16521,16522), والدارمي (95) وصححه الألباني)
Kuwasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati pemimpin kalian meski ia seorang budak habsyi (kulit hitam). Karena siapa yang hidup sepeninggalku nanti, pasti akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib baginya berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran)-ku dan Sunnahnya Khulafa’ur Rasyidin sepeninggalku. Peganglah sunnah tadi erat-erat dan gigitlah dengan taringmu. Dan waspadailah setiap muhdatsaatul umuur [7]), karena itu semua adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud (no 4607) Ibnu Majah (42), Ahmad (16521,16522) dan Ad Darimi (95); ini adalah lafazh Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat: Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud).
Demikian juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
(رواه الترمذي وقال: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ).
Dari Hudzaifah  katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Jadikanlah dua orang sepeninggalku sebagai qudwah (panutan/teladan) kalian: Abu Bakar dan Umar” (H.R. Tirmidzi dan beliau menghasankannya) [8]).
Kalaulah yang diperbuat oleh Umar  tadi merupakan bid’ah dalam agama (bid’ah syar’i), maka mustahil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk meneladani seseorang yang mengatakan bahwa bid’ah syar’i itu ada yang baik, sedangkan Nabi sendiri mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat… Ini adalah sesuatu yang kontradiksi! Dan tidak pantas bagi sahabat sekaliber Umar bin Khatthab yang dijuluki al faruq (pembeda antara haq dan batil), untuk menyelisihi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menganggap bahwa ada bid’ah yang baik dalam agama.
Karenanya, ucapan Umar bin Khatthab di atas tidak boleh diartikan sebagai bid’ah secara syar’i, namun yang beliau  maksudkan ialah bahwa keputusannya untuk menyatukan kaum muslimin pada satu imam merupakan suatu hal baru dan baik setelah sekian lama ditinggalkan.
Perhatian:
Sekiranya kita menganggap ucapan ‘Umar bin Khatthab tadi sebagai bentuk pembenaran akan adanya bid’ah hasanah –meskipun ini mustahil–; maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum harus didahulukan dari perkataan Umar yang tidak ma’shum. Cobalah anda renungi kembali jawaban Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas yang kami cantumkan di mukaddimah buku ini (hal 12).
Mendudukkan ucapan Imam Syafi’i
Kalaulah Imam Syafi’i -rahimahullah- mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang terpuji dan ada yang tercela, maka beliau jualah yang mengatakan berikut ini:
  1. مَا مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَتَذْهَبُ عَلَيهِ سُنَّةٌ لِرَسُولِ اللهِ  وَتَعْزُبُ عَنْهُ فَمَهْمَا قُلْتُ مِنْ قَوْلٍ أَوْ أَصَّلْتُ مِنْ أَصْلٍ, فِيْهِ عَنْ رَسُولِ اللهِ  لِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَالْقَوْلُ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ  وَهُوَ قَوْلِي ( تاريخ دمشق لابن عساكر 15 / 389 )
Tak ada seorang pun melainkan pasti ada sebagian sunnah Rasulullah yang luput dari pengetahuannya. Maka perkataan apa pun yang pernah kukatakan, atau kaidah apa pun yang kuletakkan, sedang di sana ada hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku, maka pendapat yang benar ialah apa yang dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah pendapatku (lihat: Tarikh Dimasyq, 15/389 oleh Ibnu Asakir)
  1. أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ e لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
(الفلاني ص 68)
Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.(lihat Muqaddimah Shifatu Shalatin Nabii, oleh Al Albani).
  1. إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ. ( النووي في المجموع 1 / 63 )
Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang. (lihat Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab 1/63)
  1. إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ ( سير أعلام النبلاء 3/3284-3285)
Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok. (Siyar A’laamin Nubala’ 3/3284-3285).
  1. كُلُّ مَسْأَلَةٍِ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ e عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا  قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي. ( أبو نعيم في الحلية 9 / 107 )
Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku (Hilyatul Auliya’ 9/107)
  1. إِذَا رَأَيْتُمُوْنِي أَقُوْلُ قَوْلاً وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ  خِلاَفُهُ فَاعْلَمُوا أَنَّ عَقْلِي قَدْ ذَهَبَ. (تاريخ دمشق لابن عساكر بسند صحيح 15 / 10 / 1 )
Jika kalian mendapatiku mengatakan suatu perkataan, padahal di sana ada hadits shahih yang berseberangan dengan pendapatku, maka ketahuilah bahwa akalku telah hilang!! (Tarikh Dimasyq,  oleh Ibnu ‘Asakir)
  1. كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ   خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي. (تاريخ دمشق لابن عساكر بسند صحيح 15 / 9 / 2 )
Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.
  1. كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ  فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ. ( تاريخ دمشق, 51/389)
Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku (Tarikh Dimasyq, 51/389).
  1. قَالَ الرَّبِيْعُ: سَأَلَ رَجُلٌ الشَّافِعِيَّ عَنْ حَدِيْثِ النَّبِيِّ  فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: فَمَا تَقُوْلُ؟ فَارْتَعَدَ وَانْتَفَضَ وَقَالَ: أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ  وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ. (حلية الأولياء 9/107)
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita: Ada seseorang yang bertanya kepada Asy Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya: “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya: “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (lihat: Hilyatul Auliya’ 9/107) [9]).
Setelah kita mengetahui pernyataan beliau bahwa perkataan Rasulullah wajib didahulukan dari ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik sangka kepada beliau dengan mendudukkan ucapan beliau mengenai bid’ah tadi sebagai bid’ah secara bahasa, –yaitu setiap hal baru– yang tidak ada kaitannya dengan agama. Dengan demikian, antara ucapan Imam Syafi’i; “Bid’ah mahmudah dan madzmumah” dan sabda Rasulullah; “setiap bid’ah sesat” tidak akan bertabrakan.
 -bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar